Pagerono Omahmu Nganggo Piring
oleh : Gunarto
Masyarakat Jawa memiliki budaya yang sangat adiluhung. Segala lini kehidupan selalu memiliki pakemnya sendiri-sendiri. Sebagai anak yang terlahir dari suku Jawa, sedikit banyak saya bersinggungan dengan adat dan budaya Jawa. Walaupun saya akui memang, banyak hal yang belum saya ketahui dari adat budaya jawa. Tentunya hal ini karena keterbatasan saya dalam mempelajarinya. Barangkali hal inilah yang banyak dialami oleh generasi muda masyarakat Jawa. Sebagai contoh, dalam masalah berbahasa. Berbahasa atau boso sudah banyak ditinggalkan oleh generasi muda. Mereka sangat kesulitan dalam membedakan mana yang kromo inggil, kromo madya ataupun ngoko. Bahasa yang mereka fahami hanya yang ngoko saja. Belum lagi aturan yang rumit dalam berbahasa. Seseorang tidak boleh membahasakan kromo inggil untuk dirinya. Seringkali saya keliru dalam hal ini. Ah, betapa tingginya sastra Jawa, kalau boleh dikatakan oleh kebanyakan orang, sebagai bahasa yang sulit.
Kyai Said, pimpinan di Pesantren saya pernah memberikan wejangan agar berbuat baik dengan tetangga. Ia mengutip sebuah ungkapan dalam bahasa Jawa, “Pagerono omahmu nganggo piring”. Pagarilah rumahmu dengan piring, kurang lebih demikian arti dari ungkapan tersebut. Memagari rumah seperti yang lazim kita ketahui, menggunakan bahan-bahan yang lumrah dipakai masyarakat. Ada yang menggunakan batu bata, ada pula yang menggunakan besi, kayu, bambu, bahkan ada yang memagari dengan tanaman perdu. Fungsi pagar diantaranya sebagai penunjuk batas tanah, fungsi keamanan pemilik, atau pun hanya sekedar estetika belaka. Namun barangkali pada zaman ini, fungsi pagar lebih karena faktor keamanan. Banyak kita mendengar kasus perampokan, pencurian dan lain sebagainya sehingga memicu untuk membuat pagar yang aman melindungi sebuah rumah.
Pak Kyai mengajarkan agar melindungi rumah dengan membuat pagar dari piring. Ya, piring makan. Apakah kemudian dibuat model pagar dengan piring yang ditata rapi? Tentu tidak. Pak Kyai mengambil kinayah piring sebagai pagar guna mengajarkan kita berbuat baik kepada tetangga. Piring adalah sebuah wadah makanan. Sehingga maksud piring tersebut adalah mengisinya dengan makanan kemudian dibagikan kepada tetangga. Hantaran makanan kepada tetangga merupakan interaksi sosial yang sangat indah. Hal tersebut bukti kedekatan secara emosional kepada tetangga. Ya, tetangga adalah masyarakat yang paling dekat dengan kita. Walaupun makanan yang kita hantarkan adalah sesuatu yang sepele, namun hal tersebut sangatlah bermakna. Kedekatan secara emosional sangat membantu dalam mualamah keseharian seseorang di masyarakat.
Pak Kyai ingin menyadarkan kami bahwa memuliakan tetangga merupakan ajaran agama Islam. Berbuat baik kepada tetangga adalah perintah baginda Nabi Muhammad shalallohu 'alaihi wa sallam. Bahkan, Rasululloh shalallohu 'alaihi wa sallam mengkaitkan keimanan dengan perintah berbuat baik kepada tetangga. Beliau shalallohu 'alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah menyakiti tetangganya”. (HR. Bukhari dan Muslim)
dalam hadits ini Rasulullah melarang kita untuk menyakiti tetangga. Bahkan, menyakiti tetangga tanda tidak sempurnanya iman seseorang. Dari larangan tersebut dapat kita ambil pelajaran, bahwa kita diperintahkan untuk melakukan yang sebaliknya. Yaitu berbuat baik kepada tetangga.
Dalam hadits yang lain, Rasulullah shalallohu 'alaihi wa sallam juga memotinasi kita untuk berbuat baik kepada tetangga. Dari Ibnu Umar, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
ماَ زَالَ جِبْرِيْلُ يُوْصِيْنِي بِالْجَارِ حَتى َّ ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُوَرِّثه
“Jibril selalu berwasiat kepadaku agar berbuat baik kepada tetangga sampai saya mengira bahwa dia (Jibril) akan menetapkan warisan baginya.”
(Shahih) Lihat Al Irwa’ (891): [Bukhari: 78-Kitab Al Adab, 28-Bab Al Washoh bil Jaar. Muslim: 45-Kitab Al Birr wash Shilat wal Adab, hal. 141]
Dalam kesempatan yang lain Rasulullah mewanti-wanti kita untuk selalu memperhatikan tetangga. Jangan sampai tetangga kita kekurangan bahkan kelaparan, sedangkan kita kecukupan da kekenyangan. Dari Abdullah ibnul Mishwar, ia berkata, “Saya pernah mendengar lbnu Abbas meriwayatkan dari lbnu Zubair di mana dia berkata, “Saya pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ الْمُؤْمِنُ الَّذِيْ يَشْبَعُ، وَجَارُهُ جَائِعٌ
’Seorang yang beriman tidak akan kekenyangan sedangkan tetangganya dalam keadaan lapar.” (Shahih) Lihat Ash Shahihah (149)
Maka apabila diperhatikan konsep pager piring pak Kyai tersebut, sangat sejalan dengan berbagai hadits Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam. Konsep tersebut sangat sederhana dan mudah dicerna masyarakat awam. Secara tidak langsung mereka diajari sunnah Nabi dengan cara mempraktekkannya. Dalam suatu riwayat hadits ini tercantum dengan lafazh,
ياَ أَباَ ذَرٍّ إِذَا طَبِخْتَ مِرْقَةً فَأَكْثِرْ مَاءَ الْمِرْقَةِ، وَتُعَاهِدُ جِيْرَانَكَ، أَوِ اقْسِمْ فِي جِيْرَانِكَ
“Wahai Abu Dzar, apabila engkau membuat suatu masakan, maka perbanyaklah kuahnya. Kemudian undanglah tetanggamu atau engkau dapat membaginya kepada mereka.” [Hadits nomor 114 pada kitab asli]. (Shahih) Lihat Zhilalul Jannah (1052), As Silsilah Ash Shahihah (1368): [Muslim: 45-Kitab Al Birr wash Shilah wal Adab, hal. 142-143. Muslim: 5-Kitab Al Masaajid, hal. 239]
Apabila hubungan baik dengan tetangga sudah terjalin, maka insyaalloh lingkungan kita akan aman. Kita dan tetangga kita akan saling menjaga. Saling membantu dalam keamanan dalam menjaga rumah kita. Karena merasa sebagai saudara. Ketika kita bepergian misalnya, tetangga kitalah yang akan membantu menjaga rumah kita. Maka, konsep pager piring tersebut sangatlah tepat jika dipraktekkan di dalam masyarakat. Masyarakat akan menjelma sebagai masyarakat yang bersatu. Mereka akan saling mencintai, saling membantu dan saling menguatkan.
Lebih dari itu, sebagai seorang mukmin, hendaknya ia dasari amalannya dalam berbuat baik kepada tetangga dengan keihklasan. Kita lebih mengharapkan surga Allah, atas apa yang kita kerjakan. Anggaplah keuntungan dunia itu sebagai bonus saja, bukan sebagai tujuan akhir kita. Karena kita ingat sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah. Beliau memberikan ancaman keras bagi orang yang menyakiti tetangga. Orang yang menyakiti tetangga diancam tidak akan masuk surga. Abu Hurairah berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ لاَ يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ
“Seorang yang senantiasa mengganggu tetangganya niscaya tidak akan masuk surga.” (Shahih) Lihat As Silsilah Ash Shahihah (549): [Muslim: 1-Kitabul Iman, hal. 73]
***